Alam semesta. Kredit: NASA/ESA/Hubble |
Meski teleskop sederhana, Galileo menemukan berbagai obyek di Tata Surya. Yaitu beberapa planet dan bulan-bulan yang mengitari planet. Kini teleskop buatan manusia semakin canggih. Kemampuannya jauh berlipat dibanding teleskop Galileo.
Tidak hanya dibangun di permukaan Bumi, teleskop juga diorbitkan di antariksa untuk menghindari gangguan atmosfer. Selain jangkauan pengamatan yang semakin jauh, teleskop masa kini juga mampu bekerja seperti robot dengan sedikit bantuan manusia. Teleskop dilengkapi dengan sistem komputer yang bisa diprogram untuk melakukan pengamatan secara sistematis dan akurat. Bahkan mampu mendeteksi obyek yang dicari secara otomatis.
Beberapa teleskop dirancang khusus untuk mengamati alam semesta pada panjang gelombang tertentu dari angkasa. Misalnya teleskop Hubble (optik), Chandra (sinar X), Spitzer (infra merah), dan lainnya.
Dengan memanfaatkan efek lensa gravitasi, kemampuan teleskop semakin bertambah. Teleskop modern bagaikan "mesin waktu" yang memungkinkan manusia bertamasya melihat alam semesta miliaran tahun silam.
Lensa Gravitasi
Ide brilian yang dituangkan Albert Einstein dalam teori relativitas umum pada 1915 memberikan kontribusi berharga bagi kemajuan fisika modern. Teori ini memprediksi berbagai fenomena (efek) yang diakibatkan oleh adanya medan gravitasi di sekitar suatu massa (benda).Menurut teori Einstein, cahaya dibelokkan di sekitar medan gravitasi yang dibangkitkan obyek bermassa besar. Efek pembelokan cahaya ini pertama kali dikonfirmasi oleh Arthur Eddington tahun 1919 melalui observasi gerhana Matahari total. Adanya pembelokan cahaya membuktikan bahwa medan gravitasi bisa berperilaku seperti lensa optik.
Efek lensa gravitasi (gravitational lensing) terjadi ketika cahaya dari suatu obyek sangat terang dan jauh dari Bumi dibelokkan oleh medan gravitasi obyek bermassa besar (berfungsi sebagai lensa gravitasi) yang berada di depannya. Dengan kata lain, Bumi, lensa gravitasi, dan obyek jauh membentuk suatu garis lurus.
Dalam penelitiannya, Einstein mengambil kasus obyek bermassa besar itu adalah sebuah bintang tunggal. Ia akhirnya membuat kesimpulan, fenomena lensa gravitasi tidak akan pernah teramati sampai kapan pun. Karena ukuran lensa gravitasi sebuah bintang tunggal terlalu kecil untuk diamati dengan teleskop.
Keinginan para astronom untuk mengamati fenomena lensa gravitasi tumbuh kembali setelah tahun 1937. Tepatnya, setelah Fritz Zwicky (astronom Swiss yang bekerja di Amerika Serikat) menyimpulkan bahwa galaksi bermassa besar juga mampu berperilaku sebagai sebuah lensa gravitasi.
Ilustrasi lensa gravitasi. Kredit: ALMA/ESA/NRAO/NAOJ |
Dengan demikian, pusat galaksi bisa menjadi sebuah lensa gravitasi. Dan karena ukurannya jauh lebih besar daripada bintang tunggal, maka fenomena lensa gravitasi dari sebuah galaksi bermassa besar sangat mungkin dideteksi melalui teleskop.
Pencarian bukti fenomena lensa gravitasi ternyata tidak menuai hasil meski telah dilakukan upaya selama empat dekade lebih. Fenomena ini baru dideteksi pertama kali tahun 1979 secara tidak sengaja oleh Denis Walsh, Bob Carswell, dan Ray Weymann.
Ketiga astronom tersebut menggunakan teleskop berdiameter 2,1 meter di Observatorium Nasional Kitt Peak untuk melakukan pengamatan dan menemukan 2 obyek aneh yang sangat terang. Dua obyek itu dikenal sebagai quasi-stellar radio source (kuasar).
Kuasar merupakan sumber radio sangat kuat (energinya puluhan kali galaksi normal) dan terletak sangat jauh. Penampakannya menyerupai bintang sangat terang. Semula ketiga astronom itu tidak menyangka bahwa obyek yang mereka amati itu akibat efek lensa gravitasi. Mereka menyebutnya sebagai Kuasar Kembar.
Analisis lebih mendalam menyimpulkan, obyek Kuasar Kembar itu berasal dari sumber yang sama (kuasar tunggal). Tampak menjadi dua karena efek lensa gravitasi seperti prediksi teori relativitas umum Einstein.
Pengamatan Hubble
Dengan lahirnya berbagai teleskop canggih seperti Teleskop Antariksa Hubble dan beberapa teleskop besar di permukaan Bumi, semakin banyak bukti-bukti fenomena lensa gravitasi berhasil dikumpulkan. Bahkan, dengan memanfaatkan efek lensa gravitasi, teleskop modern mampu mengamati obyek-obyek lebih jauh dan sangat lemah cahayanya.Penampakan obyek jauh melalui lensa gravitasi berbeda-beda. Hal ini bergantung pada posisi obyek yang berfungsi sebagai lensa gravitasi, apakah tepat segaris dengan Bumi, dan apakah obyek jauh atau tidak.
Umumnya, obyek jauh yang teramati mengalami distorsi (berubah bentuk dan menjadi lebih besar dari aslinya) dan posisi obyek bergeser dari posisi sesungguhnya. Juga, ada kemungkinan satu obyek tampak menjadi lebih dari satu obyek seperti pada kasus Twin Quasar.
Hal khusus terjadi manakala Bumi, galaksi, dan obyek jauh berada tepat satu garis lurus. Dalam kondisi seperti ini, cahaya dari obyek jauh memunculkan efek cincin di sekitar obyek yang berfungsi sebagai lensa gravitasi. Fenomena ini dinamakan cincin Einstein. Pada kasus lain, sebuah quasar tampak menjadi empat bintik terang di sekitar pusat galaksi. Ini dinamakan Einstein Cross.
Ada tiga jenis fenomena lensa gravitasi yang diamati di alam, yaitu lensa kuat, lensa lemah, dan lensa mikro. Pada lensa gravitasi kuat, teramati adanya cincin Einstein, suatu busur cahaya, dan jumlah obyek bertambah. Hingga saat ini lensa gravitasi kuat yang telah ditemukan kurang dari 100 buah. Diperkirakan, jumlah ini akan meningkat di masa depan.
Dari pengamatan teleskop Hubble, diperoleh bukti baru bahwa bukan hanya galaksi bermassa besar yang bisa berfungsi sebagai lensa gravitasi. Suatu kumpulan galaksi dalam jumlah besar, disebut kluster galaksi, juga berfungsi sebagai lensa gravitasi. Bahkan lebih efisien dibandingkan lensa gravitasi sebuah galaksi.
Efek lensa gravitasi diyakini para astronom mempunyai berbagai aplikasi dalam memahami evolusi dan struktur alam semesta. Dan keberhasilan mengungkap berbagai fenomena lensa gravitasi selama ini semakin mengkokohkan Einstein sebagai ilmuwan besar abad ke-20.
Kompas (18 Maret 2005)