Roket membawa pesawat ulang-alik meluncur ke luar angkasa. Kredit: Pexels.com |
Sejak masih kecil, saya menyukai roket dan segala sesuatu tentang peluncuran ke luar angkasa. Hal itu membuat suara penghitungan mundur yang diucapkan seorang di ruang kontrol saat peluncuran roket seperti "musik" di telinga saya.
Roket adalah mesin yang luar biasa, yang akan memainkan peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia di masa depan dalam menjadi spesies maju yang bisa menjelajahi luar angkasa. Tapi di atas itu semua, mesin roket "dinyalakan" oleh matematika (dan, tentu saja, sekumpulan persamaan fisika dan bahan bakar).
Matematika? Pelajaran yang katanya paling dibenci murid sekolah itu padahal dia sendiri yang malas mempelajarinya? Ya, benar sekali.
Tapi, matematika seperti apa yang bisa memberi kekuatan pada roket? Bagaimana cara matematika membantu kita meluncur luar angkasa? Dan bagaimana cara kita menggunakan matematika itu untuk menempatkan satelit atau manusia di orbit mengelilingi Bumi? Mari kita cari tahu.
Matematika ke Luar Angkasa
Ketika orang berpikir untuk pergi ke luar angkasa, mereka biasanya berpikir untuk naik ke atas. Itu memang benar, tapi itu hanya bagian dari cerita panjangnya. Agak sulit untuk menentukan dengan pasti di mana atmosfer Bumi berakhir dan di mana luar angkasa bermula (karena atmosfer berangsur-angsur turun saat Anda naik ke ketinggian).Namun, ada suatu "batas" antara atmosfer dengan luar angkasa, sebuah batas yang dikenal sebagai "garis Karman". Batas ini, secara internasional, diakui sebagai batas antara atmosfer dengan luar angkasa, yang berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan laut. Ya, luar angkasa hanya 100 km di atas permukaan laut!
Tak apa kalau Anda terkejut. Ada banyak orang yang terkejut juga kok ketika mengetahui luar angkasa hanya berada pada ketinggian 100 km, karena memang jarak tersebut tidak begitu jauh. Jadi bila Anda berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan laut, maka Anda sudah resmi berada di luar angkasa dan sudah bisa disebut sebagai seorang astronot.
Ilustrasi garis Karman. Kredit: Wikimedia Commons |
Ditambah lagi, sebelum meluncur, kita harus memperhitungkan pula bagaimana nantinya agar kita bisa melakukan orbit mengelilingi Bumi. Karena jika Anda menerbangkan pesawat antariksa secara lurus menuju ketinggian 100 km, ketika Anda mematikan mesin atau bahan bakar pesawatnya habis, pesawat tersebut akan segera kembali turun ke tanah (ini disebut penerbangan sub orbital).
Jadi, jika tujuan Anda dalam meluncurkan roket adalah untuk mengirim satelit ke orbit untuk mengelilingi Bumi atau untuk mengantarkan seorang astronot ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), roket tersebut tidak hanya perlu memiliki daya dorong untuk masuk ke luar angkasa, tapi juga harus bisa berada di sana tanpa jatuh lagi ke permukaan Bumi.
Agar hal itu bisa terjadi, dengan perhitungan matematika, maka roket atau pesawat antariksa harus diluncurkan dengan cara menyamping dan bergerak harus dalam kecepatan yang sangat cepat, yakni sekitar 8 km per detik!
Nah, sebuah roket atau satelit yang telah mencapai kecepatan 8 km per detik dari sejak masuk ke luar angkasa nantinya bisa mengelilingi Bumi setiap 90 menit. Inilah mengapa ISS mengorbit Bumi pada kecepatan 8 km per detik; agar ia tidak jatuh ke Bumi dan menimpa rumah Anda!
Kecepatan satelit (termasuk ISS) yang mencapai 8 km per detik dalam mengorbit Bumi didapatkan dari roket pendorongnya saat pertama kali diluncurkan. Karena luar angkasa adalah ruang vakum, maka kecepatan tinggi tersebut tidak akan ada yang menghambatnya ketika sudah berada di sana.
Pemandangan luar angkasa dari ISS, Bumi berada di bawahnya. Kredit: NASA |
Matematika untuk Mengorbit Bumi
Pernahkah Anda melihat siaran langsung atau video peluncuran roket? Kalau pernah, Anda pasti menyadari kalau pergerakan roket tersebut miring dalam meluncur ke luar angkasa. Tapi, mengapa demikian?Jawabannya adalah agar roket bisa mengantarkan bawaannya untuk mengelilingi Bumi. Seperti yang sudah disinggung di atas, bila roket bergerak lurus saja ke atas maka ia akan jatuh lagi beserta dengan barang bawaannya. Misi pun berakhir tragis dengan kerugian miliaran dolar.
Seperti yang Anda tahu, Bumi kita berbentuk bulat. Meskipun memungkinkan untuk mengelilingi Bumi dalam orbit elips, para ilmuwan roket dan satelit biasanya lebih menyukai orbit melingkar sempurna. Untuk melihat bagaimana hal ini bekerja, bayangkan Anda sedang berdiri di tepi tebing tinggi yang menghadap ke laut. Jika Anda menjatuhkan bola, bola akan jatuh lurus ke bawah ke dalam air.
Namun, jika Anda melempar bola ke atas dengan sedikit kecepatan menyamping, bola akan melaju dengan jalur seperti busur parabola dan mendarat sedikit lebih jauh dari tebing. Sekarang bayangkan Ada melempar bola tersebut lebih keras dari lemparan kedua tadi namun masih dengan arah yang menyamping, ada sesuatu yang aneh akan terjadi: arah bola yang terlempar akan benar-benar sesuai dengan bentuk Bumi yang melengkung. Hasil akhirnya adalah, bola tersebut akan terus bergerak tanpa menyentuh tanah.
Ingatlah bahwa meskipun tidak menyentuh tanah, bola sebenarnya sedang bergerak jatuh ke Bumi, namun tidak akan pernah lebih dekat ke tanah karena lintasannya yang melengkung sesuai dengan kelengkungan Bumi. Dengan kata lain, bola berada di "orbit".
Tentu saja, Anda tidak bisa benar-benar melempar bola ke orbit dengan melemparkannya dari tebing seperti ini karena molekul udara di atmosfer Bumi akan memperlambatnya dan akhirnya membuatnya terjatuh ke tanah. Itulah mengapa roket juga harus melakukan perjalanan ke angkasa dengan jalur menyamping; agar bisa mengorbit Bumi.
Peluncuran roket yang menyamping agar bisa mengorbit Bumi. Kredit: ScienceABC.com |
Hal pertama jelas, kita perlu mengisi cukup bahan bakar dan daya agar roket bisa mengangkat massa yang dibutuhkan ke orbit. Tapi, roket yang telah diisi bahan bakar dan muatan memiliki massa tersendiri, yang berarti kita membutuhkan roket lain di bawah roket pertama yang memiliki cukup bahan bakar dan daya untuk mengangkat roket utama.
Tapi, roket kedua yang baru saja kita pasang juga memiliki beberapa massa, jadi kita sekali lagi butuh roket lain untuk mengangkatnya! Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya. Bahkan jika muatan roket itu kecil, perlu banyak bahan bakar untuk mengangkatnya ... dan perlu bahan bakar untuk mengangkat bahan bakar ... dan seterusnya.
Luar angkasa memang hanya berjarak 100 km, tapi jaraknya 100 km ke atas ... hal yang membuat sulit untuk sampai ke sana.
Untungnya, ada persamaan matematika yang bisa mengatasi situasi ini dan memberi tahu kita kira-kira berapa banyak bahan bakar yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengangkat jumlah massa tertentu ke orbit oleh roket tertentu. Ini disebut, secara logika, persamaan roket.
Saya tidak akan membahas semua rincian persamaan ini, karena terlalu rumit dan saya sendiri belum terlalu mengerti. Namun intinya adalah, persamaan matematika ini akan memudahkan para ilmuwan roket dalam bagaimana menghitung kecepatan yang diperoleh roket saat ia membakar bahan bakar.
Secara khusus, persamaan tersebut menyatakan bahwa kenaikan kecepatan sebanding dengan logaritma massa awal roket (termasuk roket itu sendiri, muatan, dan semua bahan bakarnya) dibagi dengan massa akhir roket (setelah semua bahan bakar terpakai).
Hal ini pada akhirnya memberi tahu kita bahwa menambahkan lebih banyak dan lebih banyak bahan bakar ke roket akan mengurangi kecepatan yang akan diperoleh roket. Selain tidak efisien, tidak ekonomis, hal ini akan membuat peluncuran gagal.
Oke, tampaknya itulah sedikit tentang matematika peroketan yang saya ketahui. Ada yang ingin menambahkan?
Sumber: The Math Dude’s Quick and Dirty Guide to Algebra.