Puncak gerhana Bulan total yang membuat Bulan tampak merah. Kredit: NASA |
Sebuah "Blood Moon" atau "Bulan Darah" sendiri hanya terjadi ketika puncak peristiwa gerhana Bulan total. Peristiwa ini tidak akan menimbulkan dampak negatif, melainkan justru akan menjadi pemandangan yang sangat indah di langit.
Bulan yang biasanya berwarna putih keabu-abuan akan tampak berubah warna menjadi merah atau cokelat kemerah-merahan. Itulah mengapa dijuluki sebagai "Bulan Darah" karena warnanya yang memang mirip dengan darah.
Peristiwa "Bulan Darah" ini akan bisa kita amati selama gerhana Bulan total pada 28 Juli 2018 nanti, yang akan terlihat dari seluruh wilayah Indonesia, Asia, Afrika, Eropa, Australia, hingga sebagian Amerika Selatan.
Baca Juga: Keistimewaan Gerhana Bulan Total 28 Juli 2018
Mengapa Bulan Berwarna Kemerahan?
Bulan mengorbit Bumi, sementara Bumi juga mengorbit Matahari. Bulan membutuhkan waktu sekitar 27 hari untuk sekali mengorbit Bumi dan mengalami perubahan fase dalam siklus 29,5 hari. Perbedaan dalam kedua siklus ini berkaitan dengan posisi relatif Matahari, Bumi, dan bulan, yang terus berubah seiring berjalannya waktu.Gerhana Bulan sendiri hanya bisa terjadi pada fase Bulan purnama, yakni saat Matahari akan menerangi permukaan Bulan yang menghadap ke arah Bumi secara keseluruhan. Namun, tidak setiap Bulan purnama akan terjadi gerhana Bulan.
Ilustrasi orbit Bulan yang miring. Kredit: Quora |
Jika Bumi menghalangi sebagian sinar Matahari yang seharusnya menyinari Bulan, maka akan terjadi gerhana Bulan parsial. Pada gerhana tersebut, Anda akan melihat bayangan hitam yang tampak "menggigit" Bulan.
Terkadang, Bulan juga hanya melewati bagian yang lebih terang dari bayangan Bumi, yang dikenal sebagai bayangan penumbra, sehingga rona Bulan hanya akan meredup sedikit dalam peristiwa yang dikenal sebagai gerhana Bulan penumbra.
Ilustrasi orbit Bulan yang miring. Kredit: Theconservation.com |
Warna merah tersebut berasal dari cahaya dari Matahari juga. Cahaya Matahari terdiri dari berbagai frekuensi warna, mulai dari cahaya berfrekuensi rendah hingga yang berfrekuensi tinggi.
Saat cahaya Matahari menerobos atmosfer Bumi kita, cahaya berfrekuensi tinggi seperti hijau, biru, dan ungu bakal lebih mudah dihamburkan oleh molekul atmosfer Bumi dibandingkan cahaya berfrekuensi rendah seperti cahaya kuning, oranye dan merah. Penghamburan cahaya berfrekuensi tinggi ini menyebabkan langit berwarna biru di kala siang.
Dengan begitu, cahaya berfrekuensi rendah dari Matahari ini akan dengan mudah melewati atmosfer dengan jalur yang lurus dan hampir tidak akan memantul jika berinteraksi dengan molekul di atmosfer Bumi kita. Pembiasan atmosfer akan mengubah arah cahaya tersebut ke arah umbra Bumi.
Bulan yang berada di area umbra ketika gerhana Bulan total berlangsung pun maka akan tampak merah akibat pembiasan cahaya ini.
Walau begitu, seberapa merahnya Bulan saat gerhana Bulan total bergantung pada seberapa banyak polusi, tutupan awan, maupun kotoran yang ada di atmosfer. Misalnya, jika gerhana terjadi sesaat setelah letusan gunung berapi, partikel di atmosfer akan membuat Bulan terlihat lebih gelap dari biasanya, bukan merah terang.
Para ilmuwan biasanya mengukur kemunculan dan kecerahan gerhana Bulan total menggunakan skala yang memiliki lima titik -- mulai dari 0 sampai 4 -- yang disebut sebagai Skala Danjon.
Skala Danjon. Kredit: Timeanddate.com |
Fakta menarik: Jika Anda cukup beruntung untuk melihat gerhana Bulan total dari permukaan Bulan, Anda akan melihat adanya cincin merah yang mengelilingi Bumi.
IKUTI ECLIPSE PARTY: Pada 27-29 Juli 2018 mendatang, kami akan mengadakan acara pengamatan Gerhana Bulan Total 28 Juli 2018 di Lombok, NTB. Acara ini terbuka untuk umum. Bila mau ikut, daftarkan diri Anda di sini.
Sumber: Timeanddate.com, Astronomy.com.