Ilustrasi. Kredit: Rima Karimah |
Jika dulu, setiap bulan yang berakhiran “ber” (September hingga Desember) identik dengan musim hujan. Namun, sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi, karena musim hujan dan musim kemarau bisa datang kapan saja.
Peningkatan gas Karbondioksida (CO2)
Sebenarnya, Bumi hanya mengandung 0,03% CO2 di atmosfer, sehingga memiliki suhu rata-rata 15 derajat celcius. Coba bandingkan dengan Planet Venus yang mengandung 96,5% CO2 di atmosfernya dengan suhu rata-rata 420 derajat celcius.
Sebaliknya, Planet Mars dengan atmosfer yang sangat tipis dan hampir semua CO2-nya berada di permukaan, memiliki suhu rata-rata kurang dari 50%.
Namun, menurut Arctic Climate Impact Assessment, konsentrasi CO2 yang ada di atmosfer Bumi terus meningkat tajam selama 250 tahun terakhir, sehingga meningkatkan suhu rata-rata Bumi.
Tidak heran jika persoalan pemanasan global ini menjadi isu penting di tingkat dunia, sehingga perlu dibahas secara khusus seperti dalam diskusi iklim di Bonn, Jerman, yang dibuka pada Senin, 29 April 2013 lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Sekretaris Eksekutif dari Sekretariat Iklim PBB Christiana Figueres menyampaikan bahwa kadar CO2 di Bumi telah menyentuh rekor baru pada angka 399,72 parts per million (ppm).
Konsentrasi CO2 di Bumi telah menembus angka 400 ppm pada Mei 2013 ini. Hal Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah manusia.
Terakhir kali level C02 di atmosfer menyentuh angka 400 ppm adalah pada masa Pliosen, sekitar 1,8 juta hingga 5,3 juta tahun lalu. Sebelum Revolusi Industri (sekitar tahun 1760-an), level C02 di bumi masih pada kisaran 280 ppm.
Emisi dari Industri
Sumber utama peningkatan emisi CO2 sendiri berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan konversi hutan.
Sebanyak 80 % sumber energi untuk aktifitas manusia memang berasal dari bahan bakar fosil, terutama penggunaan bahan bakar minyak.
Sumber energi ini menjadi penggerak utama sektor industri di negara manapun di dunia ini, selain juga untuk menghidupi kebutuhan dasar manusia, seperti listrik.
Saat ini, pembangkit listrik menjadi sumber utama penghasil CO2, dengan menyumbang 37% emisi CO2 secara global. Angka ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama di negara-negara berkembang.
Fakta di Indonesia, pemakaian listrik naik hampir 1% setiap tahun. Diperkirakan dalam 20 tahun, negara-negara berkembang akan menyumbang 44% dari pembuangan total CO2 ke atmosfer bumi.
Perubahan Iklim
Dampak pemanasan global kemudian berlanjut pada perubahan iklim. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, intensitas hujan meningkat namun periode waktunya semakin pendek.
Akibatnya, musim kemarau jauh lebih lama daripada biasanya. Cuaca juga tidak bisa lagi diprediksi dengan tepat, karena memang tidak lagi berjalan sesuai dengan siklusnya.
Perubahan iklim telah mengubah cuaca menjadi ekstrim.
Dengan kondisi yang seperti ini, sudah ada banyak alasan untuk mengatakan perlunya aksi darurat dalam menangkal pemanasan global dan perubahan iklim ini.
Banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan. Meskipun hanya dalam skala kecil, namun setidaknya kita telah ikut membantu menahan laju peningkatan konsentrasi CO2 di Bumi dan mengurangi efek dari pemanasan global dan perubahan iklim.
Salah satu upaya sederhana yang bisa kita lakukan, misalnya mengurangi pemakaian listrik di rumah atau di kantor, terutama penggunaan barang-barang elektronik yang sebenarnya tidak bermanfaat pada saat-saat tertentu.
Selain itu, kebiasaan menggunakan sepeda atau angkutan umum sebagai pengganti kendaraan bermotor secara pribadi, juga dapat membantu menjaga keberlangsungan hidup Bumi kita.
Karena kita hidup di Bumi, jagalah Bumi ini. Toh untuk diri sendiri yang mengeluh panasnya suhu di siang hari. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Oleh Adela Eka Putra Marza
Disunting seperlunya oleh Rima Karimah