Bumi Panas. Kredit: Zoom Imej |
Meski sepanjang 2010 lalu beberapa negara masih diguncang krisis keuangan, emisi karbon global yang tercatat pada akhir tahun tetap meningkat.
International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa emisi karbondioksida yang disumbangkan pembangkit tenaga listrik dan sektor tranportasi mencapai 30,6 gigaton, lebih tinggi 1,6 gigaton dibandingkan total emisi karbon pada tahun 2009.
Angka tersebut mendekati prediksi total emisi 32 gigaton per tahun yang diprediksi IEA akan memicu peningkatan temperatur sebesar dua derajat Celsius sebelum tahun 2020.
Prediksi IEA itu kemungkinan besar akan terbukti karena lebih dari 80 persen emisi yang akan dihasilkan pada tahun 2020 berasal dari pembangkit tenaga listrik yang sudah selesai atau sedang dalam proses pembangunan.
"Peningkatan emisi karbondioksida beserta kemungkinan besar emisi yang berasal dari pembangunan infrastruktur ini merupakan kemunduran serius dari harapan kita untuk membatasi peningkatan temperatur global kurang dari dua derajat Celsius," kata Faih Birol, kepala ekonom IEA dalam sebuah pernyataan yang dikutip NewScientist.
Para pembuat kebijakan harus mengurangi emisi yang sudah dapat dipastikan akan meningkat. Menurut Simon Buckle, dari Grantham Institute for Climate Change di Imperial College London, upaya mengurangi emisi jauh lebih realistis dibandingkan mengurangi pembangunan pembangkit listrik.
"Upaya yang dilakukan saat ini harus fokus dalam mempercepat pengembangan teknologi untuk menangkap dan menyimpan karbon," ujar Buckle.
Pengendalian emisi merupakan kunci untuk mengurangi kerusakan yang akan timbul apabila temperatur naik di atas dua derajat Celsius.
"Karena temperatur global yang meningkat lebih dari dua derajat Celsius akan menimbulkan dampak yang sulit ditangani, seperti peningkatan muka laut di negara berdataran rendah seperti Bangladesh," jelas Clare Goodes, ilmuwan dari University of East Anglia's Climatic Research Unit, Inggris.
Semakin jauh dari dua derajat Celsius, dampaknya semakin sulit diatasi, tambahnya.
Referensi: New Scientist
Alih Bahasa: Agung Dwi Cahyadi