Anggota misi Ekspedisi 37 & Ekspedisi 38 di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Kredit: NASA |
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Sains dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bandung, Clara Yatini mengatakan program astronaut memang sangat memerlukan komitmen pemerintah. Sebab program tersebut memerlukan biaya yang besar. Sayangnya program antariksa belum menjadi prioritas riset pemerintah Indonesia.
"Program astronaut itu kan program pemerintah. Itu kan artinya pemerintah kita belum konsen biayai proyek terkait antariksa yang butuh biaya besar. Kalau lihat kondisi sekarang (alokas dana riset) sulit, " ujar Clara seperti dilansir dari VIVA.co.id.
Dikatakan Clara, Indonesia tak kalah dalam sumber daya manusia, dan hasil penelitian, ilmuwan Tanah Air mampu untuk menjalankan misi ke ISS. Tapi salah satu kendalanya adalah soal dukungan biaya. "Ide penelitian kita nggak kurang, untuk kita bawa dan lakukan (riset) di sana. Asal itu memungkinkan itu akan lebih bisa lakukan itu," ujar lulusan Astronomi Universitas Tohoku, Jepang itu.
Mengingat kendala besarnya adalah soal dukungan biaya, Clara mengatakan ada siasat agar Indonesia bisa mengirimkan riset dan astronautnya ke ISS. Caranya tentu menekan biaya misi yaitu dengan aktif mendekati badan antariksa negara dunia yang menjalankan misi ke ISS.
Daftar negara yang pernah mengirim astronot ke Stasiun Luar Angkasa Internasional. Kredit: NASA |
Clara mengatakan Jepang dan Amerika Serikat tebuka dengan Indonesia dalam hal program antariksa, khususnya untuk kepentingan sains. Peluang itu seharusnya bisa diambil oleh pemerintah untuk mengirimkan riset dan astronaut ke luar angkasa.
Buktinya, Negeri Metahari Terbit itu mau memberikan ruang bagi riset Indonesia dalam modul eksperimennya, Kibo, yang dikembangkan oleh Badan Antariksa Jepang (JAXA). Bahkan peneliti Indonesia, kata Clara, sudah memesan tempat pada modul Kibo tersebut. Rencana riset yang akan diluncurkan pada 2017 itu akan meneliti soal pisang di ISS.
"Jepang tawarkan selama ide itu tidak perlukan peralatan baru, jadi lebih murah dengan pakai peralatan mereka. kita sudah mendapatkan diskon bisa gunakan peralatan mereka, nggak bayar," katanya.
Tiru Riset Siswa
Hal yang sama juga disampaikan oleh inisator program pengiriman hasil riset siswa SMA Indonesia di ISS, JW Saputro. Pria yang akrab disapa Prof. Sap itu mengatakan salah satu siasat agar Indonesia bisa mengirimkan astronaut yaitu dengan aktif mendekati badan antariksa.
"Lobinya perlu ditingkatkan, mungkin bisa cost sharing. Tapi kalau ada kemauan pasti bisa," kata dia.
Prof. Sap mengatakan pengiriman hasil riset siswa Indonesia ke ISS yang digagasnya bisa memicu semangat dan inspirasi program antariksa Indonesia. Pria lulusan Institut Pertanian Bogor itu mengatakan program riset siswa cuma memerlukan dana Rp200 juta saja untuk bisa menghadirkan Indonesia di ISS.
Biaya yang terbilang murah untuk misi antariksa itu didapatkan setelah dia melobi NASA dan akhirnya badan antariksa Amerika Serikat itu memberi diskon bagi misi uji coba riset siswa tersebut. Padahal, kata dia, program peluncuran ke ISS butuh biaya hingga triliunan rupiah.
"Dengan 200 juta bisa riset antariksa, maka kita gaungkan. Kita juga bisa pesan tempat untuk eksperimen, karena kan untuk misi ke ISS, kursinya terbatas. Kita jangan ketinggalan dibanding yang triliunan," kata dia.
Cara Negeri Jiran Mengirim Astronot ke ISS
Pengiriman astronot Malaysia ke Stasiun Luar Angkasa Internasional merupakan bagian dari paket pembelian 18 pesawat tempur Sukhoi milik Rusia oleh Malaysia pada tahun 2003. Malaysia mengadakan pemilihan astronot dari 11.000 calon yang mendaftarkan diri.
Calon yang terpilih menjalani latihan terakhir di Kosmodrom Baikonur, Kazakhstan. Muszaphar dan tiga calon akhir yang lain dipilih pada awal tahun 2006. Setelah selesai menjalani latihan di Star City, Rusia, Sheikh Muszaphar dipilih sebagai calon utama astronot pertama Malaysia, sementara Faiz Khaleed dijadikan calon cadangan.
Kapsul antariksa Soyuz TMA-11 yang membawa Sheikh Muszaphar, Whitson, dan Malenchenko, meluncur dengan sukses pada pukul 21:22 WIB, Rabu 10 Oktober 2007. Sesuai rencana, Sheikh Muszaphar berada di ISS selama 12 hari sebelum kembali ke Bumi.
Sheikh Muszaphar menjalankan percobaan-percobaan di bidang kesehatan di dalam ISS, yaitu karakteristik dan perkembangan sel-sel kanker hati dan leukimia, serta kristalisasi berbagai protein dan mikroba pada gravitasi rendah.
Optimislah, Indonesia pasti bisa.