Eits, sabar dulu, kalau ada suatu hal yang tidak kita mengerti, bukan berarti suatu hal tersebut tidak benar. Di artikel kali ini, mari kita lebih pahami kenapa sih ruang angkasa tampak gelap.
Ruang angkasa sangat luas, jauh lebih luas dari yang sekarang kamu sedang bayangkan saat membaca kata "luas". Di luasnya ruang angkasa ini, ada begitu banyak bintang bisa dikatakan jumlahnya tidak terhitung. Ke manapun kita menoleh di ruang angkasa, yang kita lihat hanyalah bintang-bintang.
Secara logika sih, karena ada banyak bintang yang jumlahnya tidak terhitung itu, mereka seharusnya mampu memancarkan cahaya yang membuat ruang angkasa menjadi berkilau atau terang. Namun, kenyataannya tidak demikian tuh.
Astronom asal Jerman bernama Heinrich Wilhelm Matthäus Olbers pernah sampai pada suatu kesimpulan bahwa penyebab ruang angkasa gelap adalah debu. Olbers mengatakan, ada banyak debu yang menghalangi cahaya bintang yang tidak terhitung jumlahnya itu, sehingga bintang-bintang tadi tidak bisa memancarkan sinarnya secara maksimal untuk menerangi ruang angkasa.
Namun, kesimpulan yang diusulkan Olbers ternyata keliru. Setelah kematiannya, para astronom menghitung bahwa sinar-sinar bintang itu seharusnya cukup untuk dapat memanaskan setiap debu sehingga tetap bisa berpijar terang.
Jadi, apa dong yang bikin ruang angkasa gelap?
Jawabannya ternyata cukup sederhana: ruang angkasa memang berisi banyak bintang, tetapi ternyata terungkap bahwa jumlah bintang-bintang serta materi yang bisa kita amati di alam semesta hanya menyumbang 4% dari keseluruhan materi yang ada. 22% materi yang ada di ruang angkasa merupakan materi gelap, sementara sisanya adalah energi gelap.
Analoginya adalah seperti menghidupkan lampu led 2 watt di ruangan yang penuh dengan kain hitam transparan. Kain hitam tersebut akan tetap hitam.
Yang kedua, jumlah molekul yang bisa memantulkan cahaya di ruang angkasa hanya sedikit. Tidak seperti di Bumi kita, yang memiliki banyak cermin atau alat pemantul cahaya lainnya di mana memungkinkan untuk memantulkan cahaya yang ada.
Sumber: Cornell University