Galileo Galilei adalah orang pertama yang berhasil mengamati cincin Saturnus pada tahun 1610, empat abad yang lalu, menggunakan teleskop hasil rakitannya sendiri. Namun, pada saat pengamatannya itu, Galileo tidak mengidentifikasinya sebagai cincin yang mengelilingi Saturnus.
Beliau justru menulis dalam catatannya, "Planet Saturnus tidak sendirian, tetapi terdiri dari tiga, yang hampir saling bersentuhan dan tidak pernah bergerak atau berubah satu sama lain. Mereka tersusun dalam garis sejajar dengan jalur zodiak, dan yang di tengah (Saturnus sendiri) kira-kira tiga kali lebih besar dari yang ada di sisi kanan dan kirinya." Tidak hanya itu, Galileo juga menggambarkan cincin yang sebenarnya ia amati itu sebagai "telinga" Saturnus.
Memasuki tahun 1612, Bumi dan ekuator Saturnus mengalami kesejajaran, sehingga membuat cincin Saturnus yang sangat tipis itu menjadi tidak terlihat karena tidak sedang miring. Galileo pun bingung ke mana hilangnya "telinga" Saturnus itu, lalu mencatat, "Saya tidak tahu harus berkata apa dalam kasus yang begitu mengejutkan ini. Apakah Saturnus menelan anak-anaknya?".
Setahun kemudian, Galileo semakin bingung ketika cincin itu kembali terlihat karena sumbu rotasi Saturnus kembali miring dalam pandangan dari Bumi.
Baru pada tahun 1656, astronom lain bernama Christiaan Huygens mempresentasikan teorinya tentang cincin Saturnus. Huygens adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Saturnus dikelilingi oleh cincin yang terlepas (tidak menempel di permukaan) dari planetnya setelah mengamati Saturnus menggunakan teleskop reflektor dengan pembesaran 50× yang ia rancang sendiri.
Pada tahun 1675, astronom bernama Giovanni Domenico Cassini menetapkan bahwa cincin Saturnus terdiri dari beberapa lapis cincin dengan celah di antara mereka. Satu celah terbesar di antara cincin Saturnus ini kemudian dinamai Celah Cassini, yang mana lebarnya mencapai 4.800 kilometer di antara cincin A dan Cincin B.
Memasuki tahun 1787, astronom Pierre-Simon Laplace membuktikan bahwa cincin Saturnus bukanlah benda padat seperti cakram piringan hitam karena tidak akan stabil. Ia menyatakan bahwa cincin tersebut terdiri dari sejumlah besar partikel kecil yang berjarak sangat berdekatan sehingga tampak solid. Penyataannya ini didukung oleh hasil temuan astronom James Clerk Maxwell pada tahun 1859, yang menunjukkan bahwa cincin memang terdiri dari banyak partikel kecil, semuanya mengorbit Saturnus secara independen.
Kini, semakin majunya teknologi pengamatan, diketahui bahwa cincin Saturnus lebarnya sekitar 400.000 kilometer, atau setara jarak dari Bumi ke Bulan. Meski begitu, diketahui pula bahwa cincin Saturnus hanya setebal 100 meter saja. Cincin terdiri atas partikel yang terlalu kecil untuk dilihat hingga "partikel" seukuran rumah. Para ilmuwan memperkirakan partikel cincin Saturnus adalah semacam bola salju es atau bebatuan yang tertutup es.
Kini, semakin majunya teknologi pengamatan, diketahui bahwa cincin Saturnus lebarnya sekitar 400.000 kilometer, atau setara jarak dari Bumi ke Bulan. Meski begitu, diketahui pula bahwa cincin Saturnus hanya setebal 100 meter saja. Cincin terdiri atas partikel yang terlalu kecil untuk dilihat hingga "partikel" seukuran rumah. Para ilmuwan memperkirakan partikel cincin Saturnus adalah semacam bola salju es atau bebatuan yang tertutup es.
Bagaimana Cara Melihatnya?
Karena berjarak sangat jauh dari Bumi, yakni sekitar 1,4 miliar kilometer, kenampakan Saturnus di langit kalau diamati dengan mata telanjang hanya akan seperti bintang kuning terang yang tidak berkelap-kelip saja. Namun, hal itu berbeda kalau kamu mengamatinya dengan teleskop.
Kamu sudah bisa melihat Saturnus lengkap dengan cincinnya menggunakan teleskop yang pembesaran minimumnya 175x. Pembesaran ini bisa dihitung dengan membagi angka panjang fokus teleskop dengan eyepiece yang digunakan. Sebagai contoh, kalau teleskop kamu panjang fokusnya 700mm dan menggunakan eyepiece 4mm, maka bisa mendapatkan pembesaran 700/4 = 175x, sudah lebih dari cukup untuk melihat cincin Saturnus.
Beberapa teleskop yang bisa digunakan untuk melihat cincin Saturnus adalah:
- Celestron PowerSeeker 50AZ - Rp1.859.000
- Celestron PowerSeeker 60AZ - Rp2.139.000
- Celestron PowerSeeker 80EQ - Rp4.799.000
Agustus hingga Desember 2020 ini, Saturnus akan berada di langit timur bersama Jupiter sejak Matahari terbenam. Bahkan menjelang akhir Desember 2020, Saturnus dan Jupiter akan tampak begitu dekat satu sama lain dalam pandangan dari Bumi.
Untuk menemukannya, kamu bisa memanfaatkan aplikasi peta langit, salah satunya Stellarium Web.
Sekitar setengah jam setelah Matahari terbenam, amatilah langit timur. Kamu akan menemukan adanya dua bintik terang di sana yang muncul seperti bintang. Bintik paling terang adalah Jupiter (magnitudo visual -2,6), sementara di sisi timurnya yang lebih redup (magnitudo visual 0) adalah Saturnus.
Walaupun hanya muncul sebagai bintik terang kalau diamati dengan mata telanjang, mereka memiliki perbedaan penampilan dari bintang-bintang sungguhan: Cahaya planet tidak berkelap-kelip. Hal ini disebabkan karena diameter sudut planet lebih besar, sehingga pergolakan cahayanya akibat turbulensi atmosfer tidak terlalu kentara.
Untuk melihat cincinnya, arahkan teleskop ang memiliki pembesaran minimum 175x ke arah Saturnus di langit. Kamu nantinya bisa melihat wujud Saturnus seperti ini:
Yup, tidak hanya Saturnus dan cincinnya, kamu juga berkesempatan untuk melihat bulan-bulan terbesar milik Saturnus. Ia adalah planet dengan bulan terbanyak di tata surya, jumlahnya mencapai 82. Namun, hanya yang terbesar yang bisa diamati lewat teleskop.
Untuk mendapatkan teleskopnya, kami menyediakannya di InfoAstronomyStore.com.
Yuk rasakan menjadi Galileo di abad ke-21. Selamat berburu cincin Saturnus!